Mengajar Ngaji

Mengajar Ngaji 

Part ke-7

Sebagai seorang pelajar yang menuntut ilmu di madrasah sedikit banyak bisa membaca Alquran dan ilmu tajwid serta amalan ibadah harian. Berbekal itu semua mencoba membuka pengajian Al-Qur'an di rumah dan musala.

Setidaknya dengan membuka pengajian Al-Qur'an membantu masyarakat dalam pemberantasan buta huruf Al-Qur'an. Hampir setiap malam kecuali malam Minggu kegiatan pengajian berlangsung.

Banyak orang tua yang menitipkan putra dan putrinya untuk mengaji, ada juga anak-anak yang datang mengaji tanpa orang tua. Tidak menjadi masalah yang terpenting anak-anak datang dan ada kemauan untuk mengaji itu sudah luar biasa.

Pengajian tidak dipungut biaya apalagi ditentukan besar-kecilnya rupiah. Kebetulan mengajar merupakan kesenangan saja. Terkadang ada saja orang tua atau anak-anak pengajian memberikan sesuatu. Kalau seperti ini ya, diambil saja tidak perlu ditolak. Prinsip jangan meminta, tetapi kalau diberi ambil saja.

Pengajian terus berjalan, tentunya ada pasang surutnya, maklum anak-anak sekarang berbeda dengan anak-anak pada zaman aku kecil. Waktu kecil digebuk ustaz karena tidak hafal sebuah kewajaran dan tidak kabur atau tidak datang lagi untuk mengaji. Tetap datang keesokannya dengan persiapan yang matang.

Pernah waktu ngaji kitab Fathul Qarib. Ketika dipinta membaca tidak ada yang mengetahui bacaan yang hendak dikaji. Habis deh, ustaz murka dengan memarahi aku dan teman-teman. Akhirnya keesokan harinya aku dan teman-teman selalu mempersiapkan diri untuk muthalaah sebelum berhadapan dengan ustaz. Aku dan teman-teman berhenti menerjemahkan ketika tidak tahu terjemahannya.

Pernah aku diceritakan oleh gurunya guruku, kebetulan selepas madrasah Tsanawiyah aku mengaji dengan gurunya guruku KH. Ahmad Zaenun,BA. Beliau bercerita ketika beliau dan teman-teman mengaji di daerah jembatan lima dengan KH.Mansyur kakek dari ustaz Yusuf Mansur. Ketika beliau dan teman-temannya mengaji ada salah satu temannya dipinta untuk membaca kitab yang hendak dikaji, temannya tidak tahu bacaan yang hendak dibaca, begitu juga yang lainnya tidak mengetahui juga, akhirnya pak kiai langsung meniup lampu, sekejap sekitar tempat mengaji menjadi gelap gulita, suasana menjadi sunyi dan hening, semua santri diam, tiba-tiba pak kiai dengan suara agak tinggi membentak dan mengusir para santri. Sepontanitas dengan tanpa kata semua santri yang mengaji meninggalkan tempat mengaji. 

Hal demikian mengajari kita agar bersungguh-sungguh, dalam menuntut ilmu bukan hanya sekedar rajin datangnya, akan tetapi siap membaca ulang apa yang sudah diajarkan dan mempelajari materi yang belum diajarkan. Setidaknya ketika guru bertanya kita sudah tahu dan siap ketika diperintahkan untuk membaca.

Terkadang guru itu sudah tahu apa yang hendak dipelajari, namun hanya ingin mengetahui kesungguhan para santri/murid-muridnya dalam belajar. Biasanya santri yang bersungguh-sungguh mereka sudah mempersiapkan diri. 

Sementara anak-anak sekarang berbeda, dimarahi dalam artian dinasehati, keesokan hari mereka tidak datang lagi alias berhenti mengaji. Begitulah pasang surutnya jika mengadakan kegiatan pengajian model tradisional, datang tidak diundang pulang tidak pamitan.

Mengajar ngaji terus berlanjut hingga berkeluarga baik di rumah bersama istri maupun pengajian remaja di masyarakat. 

Kini setelah sakit berkepanjangan tidak lagi mengajar ngaji, kecuali mengajar supir pribadi yang selalu mengantar dan mengurusi segala keperluan mengajar.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melangitkan Doa

Duta Guru Inspiratif DKI Jakarta; Anugerah GTK Madrasah Berprestasi Tingkat Nasional 2024.

Hadiah dari Allah yang Terabaikan