Terlahir Tanpa Ayah
Terlahir Tanpa Ayah
Part 1
#JejakGuruMadrasahInspiratif
Mentari mulai nampak dari peraduannya, sinarnya yang elok menyelinap di antara rimbunnya dedaunan. Kicauan burung-burung yang bertengger di ranting-ranting pohon menambah indahnya kehidupan di sebuah kampung yang masih asri.
Para petani pun tak membuang kesempatan pergi ke sawah tuk membajak sawah. Mumpung hari masih pagi dan sinar mentari tak begitu panas. Sementara ibu-ibu dengan sigap mengambil sapu lidih tuk membersihkan pelataran yang tertimbun oleh dedaunan yang berguguran terhempas angin.
Di ujung gang tak jauh dari hamparan sawah terdapat sebuah pondok sederhana, hiduplah seorang wanita yang sedang hamil tua. Nampaknya wanita itu tak bersuami karena beberapa bulan yang lalu bercerai dengan suaminya.
Tinggallah wanita itu dengan kedua orang tuanya. Hari demi hari perut wanita itu semakin membesar hingga pada akhirnya di pagi hari yang cerah lahirlah seorang bayi mungil. Lahir yang tidak dihadiri sang ayah. Sungguh miris memang mendengarnya.
Sejak lahir sudah tak berayah, bukan karena sebuah kematian melainkan sebuah perceraian. Itulah diriku, aku tidak banyak kata dan bertanya, kenapa orang tuaku bercerai. Aku tidak mau tahu masalah beliau berdua. Bagaimana pun beliau adalah orang tuaku.
Hari-hari pun ku jalani hidup tanpa seorang ayah. Karena sehari-hari tinggal dengan kakek dan nenek hidupku tidak terlalu hampa. Hingga pada akhirnya ada seorang lelaki yang tertambat hatinya kepada ibuku.
Aku pun senang mempunyai seorang ayah, ia begitu sayang seperti sayangnya terhadap anak kandungnya sendiri. Aku dibesarkan dan diberikan pendidikan yang layak seperti layaknya seorang ayah kandung.
Aku tumbuh dan berkembang di lingkungan yang kental dengan suasana agamis, hingga aku besar tidak lepas dengan dunia pengajian dan salat berjamaah di musala. Bahkan, ketika aku duduk di madrasah tsanawiyah aku sering bermalam di musala dan selepas salat Subuh aku mengaji dengan ustaz yang masih ada hubungan family.
Orang tua kandungku rumahnya tak jauh dari rumah tempat tinggalku, masih satu kampung dan satu rukun warga (RW). Seingatku ayah kandungku pernah memberikan baju setiap lebaran.
Terkadang kalau aku butuh uang, aku sengaja bermain di dekat tempat tinggal ayahku, kalau kebetulan ada beliau aku diberikannya sedikit uang, lumayan untuk membeli benang gelasan untuk layang-layang.
Ayah kandungku seorang iman dan Muazin di Musala dekat rumahnya. Hampir setiap hari aku mendengarnya dan bahkan nada yang ia sering bawakan ketika azan aku mencoba menirunya.
Aku pun senang azan, kebetulan Musala tidak jauh dari rumahku sehingga aku sering azan disetiap waktu. Pada suatu hari saudara dari ayahku mendengar aku azan mirip dengan suara ayahku. Saudara ayahku sudah bisa menebak bahwa aku yang azan.
Aku juga punya kenangan terindah berkaitan dengan azan, nanti saja aku ceritakan pada kesempatan berikutnya. Terus saja ikuti tuk membacanya, pasti nanti ketemu.
Cakung, 28 April 2025
Komentar
Posting Komentar