Permata dan Batu Bara

Permata dan Batu Bara

Cing Ato

#SelfMotivated

Pernahkah Anda melihat batu bara? Penulis yakin Anda pasti pernah melihat bahkan pernah memegangnya langsung. Tetapi, pernahkah Anda melihat permata? Penulis yakin pasti pernah. Di mana? Yang pasti kebanyakan dari kita pernah melihatnya. Tetapi tidak langsung melihat bendanya di depan mata kita. Kebanyakan kita pasti melihatnya dari mba google atau televisi. 

Kita melihat batu bara bisa di mana saja, namun untuk permata sangat sulit karena nilainya sangat tinggi dan tempatnya sangat khusus, serta tingkat pengamanan sangat tinggi. Sementara batu bara digeletakkan di mana saja dan tingkat pengamanan biasa saja. 

Segenggam permata nilainya lebih tinggi dari puluhan ton batu baru. Jika dijual permata memakai timbangan gram, sementara batu bara perkilo bahkan sampai per-etonan.

Kok, bisa seperti itu? Bukankah permata dan Batu bara berasal dari unsur material yang sama dan dari tempat pembentukan yang sama? Terus apa yang membedakan sehingga nilai permata lebih tinggi dari batu bara.

Pak Anies Rasyid Baswedan pernah berkata dalam sebuah acara motivasi di pondok pesantren pimpinan ustaz Abdul Somad. Beliau menjelaskan bahwa permata prosesnya cukup lama, di bawah tekanan yang sangat tinggi, dan suhu  sangat tinggi. Sementara, batu baru kebalikan dari proses permata. 

Dari statement di atas tentang proses permata dan batu bara bisa kita jadikan pembelajaran dalam mendidik diri menjadi pribadi yang bernilai dalam hidup ini.

Ketika kita ditanya secara bersama"Siapa yang ingin menjadi permata ?" Pasti jawaban serentak sama. Semuanya ingin menjadi permata dan tidak ada yang ingin menjadi batu bara.

Namun, apakah semua mereka berhasil menjadi permata? Jawabannya pasti tidak. Kenapa? Hanya orang-orang yang mampu mengikuti proses penggemblengan yang tinggi yang menjadi permata. 

Begitu juga dalam sebuah pendidikan, entah itu bentuk sekolah, madrasah, atau pondok pesantren, tidak semua siswa-siswi/santri menjadi permata. Hanya siswa-siswi yang mampu dan tahan banting mengikuti seluruh proses penggemblengan yang akan jadi permata. Sementara yang tidak, hanya akan menjadi batu bara.

Untuk mencapai predikat permata butuh perjuangan dan semangat yang tinggi, serta membutuhkan waktu yang tidak instan. Seperti orang yang ingin ke puncak gunung. Mereka akan berjalan mendaki dengan perjuangan yang cukup menguras tenaga dan pikiran. Sementara mereka yang berjalan mendatar dan tidak perlu tenaga sebagaimana mendaki. Maka, mereka tidak akan pernah mencapai puncak.

Nah, sekarang terserah kepada kita. Apakah mau menjadi permata di tengah-tengah masyarakat, atau menjadi batu bara.


Cilincing, 17 Januari 2024.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjadi Guru Adalah Takdirku

Dibutuhkan Sebuah Kepedulian Terhadap anak-anak, ketika berlangsungnya salat berjama'ah.

Terjungkal Kursi Rodaku, Ketika Hendak Ke Musala.