Menjadi Guru Adalah Takdirku

Menjadi Guru Adalah Takdirku

Cing Ato
#SarapanPagidenganMenulis 

Penulis tidak menyangka bisa sampai bangku kuliah, kalau melihat pendidikan ayah yang tidak tamat Sekolah Rakyat(SR) dan ibu tidak pernah mengeyam pendidikan formal--wajar sampai sekarang tidak bisa membaca huruf, kecuali huruf Arab dan membaca Al-Qur'an--ibu hanya mengaji Al-Qur'an. 

Sudah dipastikan pekerjaan orang tua serabutan, tentunya berimbas pada perekonomian. Pernah suatu hari penulis hendak berangkat sekolah tidak punya ongkos. Mau jalan kaki terlalu jauh, mau naik mobil butuh ongkos. Terpaksa orang tua meminjam uang ketetangga sekedar untuk ongkos ke sekolah.

Dari latarbelakang inilah penulis berusaha untuk terus belajar tanpa kenal waktu, di mana ada kesempatan untuk belajar di situlah penulis belajar. Wajar penulis termasuk siswa yang selalu berada di pusaran lima besar sejak MTS hingga MAN. Yang pada akhirnya masuk ke perguruan tinggi lewat jalur prestasi akademik dan juga lulus pada jalur reguler.

Penulis bertekad untuk sebuah perubahan hidup. Agar kelak anak-anak penulis jangan seperti yang penulis alami. Setidaknya biaya perongkosan untuk pendidikan tercukupi.

Semangat belajar pun sudah mulai nampak ketika duduk di bangku MTs/SMP. Teori belajar pun penulis ciptakan sendiri dan hasilnya penulis selalu berada pusaran lima besar. Penulis melihat faktor yang menyebabkan kepandaian seorang siswa itu terletak pada diri seseorang siswa itu sendiri, sementara faktor luar hanya penyempurna. Hal ini, penulis alami sendiri.

Apapun yang diberikan oleh guru dan sehebat apapun gurunya, kalau tidak ada kemauan yang kuat dari seorang siswa untuk belajar. Sulit rasanya untuk mencapai prestasi.

Kini anak zaman now, banyak dihadapkan pada permasalahan yang dihadapi. Jika mereka gagal mengatur/ mengendalikan dirinya, sudah dipastikan akan berdampak pada prestasi.

Banyak sudah jatuh kurban akibat perkembangan teknologi. Terutama teknologi smartphone yang mampu memalingkan orang untuk melakukan segala hal. Mereka sibuk bercengkrama dengan smartphone sehingga segala aktifitas yang mereka lakukan terganggu bahkan terhenti.

Para pelajar enggan untuk belajar, komunikasi terhenti, pekerjaan rumah terbengkalai, dan masih banyak efek negatif yang ditimbulkannya. 

Butuh kerja keras bagi para pelajar untuk menaklukkan dirinya agar tidak terjebak pada serbuan-serbuan smartphone. Orang tua agak sedikit kewalahan begitu juga para guru. Memang serbuan smartphone agak sulit dikendalikan. 

Bagaimana pun sulitnya, sebagai guru terus selalu mengingatkan kepada para siswa agar mampu mengendalikan penggunaan smartphone untuk hal-hal yang tidak urgen.

Tantangan setiap zaman memang selalu berbeda. Dahulu serbuan televisi yang membuat para siswa berlama-lama di depan televisi. Kini lebih para lagi dalam kondisi apapun bisa digunakan, sehingga kalau tak mampu mengendalikannya banyak waktu yang dibuang percuma.

Memang si teknologi bebas nilai, artinya tergantung siapa yang menggunakan. Kalau yang menggunakan orang baik teknologi akan menghasilkan yang baik pula. Sebaliknya, jika yang menggunakan tidak baik, teknologi menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.

Tugas guru hanya sebatas mengingatkan dan menjelaskan dampak positif dan negatif dari sebuah teknologi di sekolah. Selebihnya berpulang kepada para siswa itu sendiri. Mampukah para siswa untuk memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan prestasi belajar. Atau sebaliknya terjerumus ke dalam suguhan-suguhan smartphone.

Penulis sudah ditakdirkan Allah untuk menjadi guru. Maka itu, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mendidik para siswa, walaupun kondisi penulis masih dalam keterbatasan.

Cakung, 25 Juni 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dibutuhkan Sebuah Kepedulian Terhadap anak-anak, ketika berlangsungnya salat berjama'ah.

Terjungkal Kursi Rodaku, Ketika Hendak Ke Musala.