Ada Apa dengan KKM

Ada Apa dengan KKM

#Catatan harian sang guru


Bangsa yang maju dan mempunyai peradaban tinggi adalah bangsa yang mempunyai kualitas pendidikan yang tinggi. Semakin tinggi kualitas pendidikan semakin majulah bangsa itu. Sebaliknya semakin rendahnya hasil pendidikan, semakin rendah pula peradaban yang dihasilkan.

Sistim KKM yang diterapkan dalam dunia pendidikan bagai buah simalakama. Terutama bagi pendidik yang idealis. Tapi bagi pendidik pada zona nyaman mencari amannya saja. Ia apatis tidak mau ribet dalam hidupnya.

Sebenarnya berlakunya KKM sangat bagus dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, karena mempunyai standarisasi yang jelas dan terukur. Tapi realitanya jauh panggang dari api.

Masing-masing lembaga pendidikan main jor-joran dalam menentukan KKM, bahkan hampir seluruh mata pelajaran sama KKM-nya. Akhirnya yang rajin dan malas belajar tak ada bedanya. Kenaikan kelas terkadang hanya formalitas belaka, yang intinya semua harus naik dan tentunya harus mencapai KKM.

Ya, ironis saja melihat dunia pendidikan sekarang ini. Nilai tinggi-tinggi tidak berbanding lurus dengan kompetensi yang dimiliki. Wajar kalau kualitas pendidikan kita masih terbilang rendah.

Menilik dari sistem pendidikan ala pondok modern Gontor. Kebetulan putra kedua penulis belajar di sana. Ketika pertama kali nilai hasil belajarnya (Raport) sampai kepada penulis. Penulis dan istri menilik satu persatu hasil masing-masing mata pelajaran. Setelah melihat hati agak sedikit gundah. Hasilnya apa adanya dan tidak direkayasa, sesuai kompetensi yang dimiliki.

Jika nilainya 4(40) ya, 4 ditulis di raport. Jika 8(80) atau 9 (90) ya, seperti itu ditulisnya. Dari hasil menilik, berkesimpulan bahwa putraku telah mengusai satu bidang keilmuan tertentu dan masih rendah pada bidang yang lain. Pada akhir tahun ajaran, jika nilai tidak memenuhi syarat dan adab kurang baik, sudah dipastikan tidak naik kelas. Banyak dari santri yang tidak naik kelas. Dan hal itu sesuatu yang sudah biasa. Mereka para santri sadar akan hal itu, tapi tidak membuat patah semangat untuk belajar lebih giat lagi. Justru banyak dari mereka yang tidak naik kelas, selanjutnya bisa mengalahkan yang lain. 

Dari puluhan santri dalam satu kelas putra penulis, hanya tersisa 3 santri yang bertahan dan mengabdi di Gontor pusat. Sementara yang lain dikirim keberbagai pondok cabang atau pondok alumni. Itulah kualitas kompetensi santri menentukan. Kemurnian dalam penilaian berdampak pada kualitas pendidikan.

KKM yang pada penerapannya hanya sebatas memenuhi kemauan pemangku kepentingan demi gengsi yang berlebihan. Pada gilirannya menciptakan lulusan karbitan. Lulus hanya membawa selembar ijazah tanpa kompetisi yang sesungguhnya.

Sebagai pendidik terkadang sedih, tapi tidak punya daya dan tidak merdeka. Akhirnya ya, sudahlah ikuti sistem yang berlaku. Pendidikan yang seharusnya mendidik agar para siswa gemar belajar, akhirnya menjadi penadah atau mengharapkan belas kasihan dari guru.

Semoga kurikulum merdeka, memberikan solusi memecahkan permasalahan yang terjadi selama ini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Duta Guru Inspiratif DKI Jakarta; Anugerah GTK Madrasah Berprestasi Tingkat Nasional 2024.

Hadiah dari Allah yang Terabaikan

Tukang Minyak Keliling Pencetak Para Sarjana