Penunggu Pohon Asem
Penunggu Pohon Asem
Cing Ato
#CatatsnHarianGuruBloger
#Edisimisteri
Kumandang azan dari Musala sebelah rumahku terdengar sayup-sayup memecah telinga membuyarkan mimpi indah. Mataku terjaga pikirku berucap "Alhamdulillah, Tuhan telah memanggil diri untuk bersimpuh."
Hawa dingin dan semilir angin terasa menusuk kulit serta dinginnya air wudhu penghilang kantuk. Demi memenuhi panggilan Tuhan, kulangkahkan kaki menuju Musala untuk salat subuh berjamaah.
Tidak banyak yang datang hanya segelintir orang yang cinta dengan rumah Allah, sementara yang lain sedang asyik-mahsyuk dininabobokan oleh mimpi-mimpi indah. Telinga dan hatinya tertutup, hingga kerasnya kumandang azan tidak terdengar olehnya. Padahal waktu subuh merupakan waktu yang sangat istimewa, tapi sayang banyak yang tidak mengetahuinya.
Selepas salat aku dan dua orang teman tidak langsung pulang, kebetulan hari itu hari Minggu. Aku ngobrol ngalor-ngidul membicarakan apa saja. Sementara mentari belum keluar dari peraduannya, sehingga suana masih gelap gulita.
Ketika sedang asyik ngobrol, tiba-tiba terdengar bunyi buah asam yang sudah masak berjatuhan ditiup oleh angin.
"Wah, asem berjatuhan," kataku.
"Kita ambil yuk," timpal Hasan temanku.
"Nanti saja tunggu terang, sekarang tidak kelihatan," timpal Husen temanku yang satu lagi.
"Pasti manis karena sudah masak," kataku.
"Yang namanya asam tetap asam walaupun sudah masak," sangkal Hasan.
"Betul itu San. Maka itu disebut pohon asam, karena buahnya rasanya asam," jelas Husen.
"Buah asam yang sudah masak, kita buka kulitnya lalu kita taburi gula putih, mantap benar rasanya manis-manis asam," kataku.
"Tapi, jangan kebanyakan, nanti bisa mencret, hahaha... hahaha," jelas Hasan sambil tertawa.
Tiba-tiba mata Husin tertuju ke sebuah dahan pohon asam yang mengganggu pejalan kaki.
"Eh...eh....eh, coba lihat itu cabang pohon asam terlalu ke bawah dan bisa mengganggu orang jalan," kata Husen memberitahu.
''Iya, bisa ganggu orang jalan," timpal Hasan.
"Kita tebang saja, agar tidak mengganggu," ajak Husen
"Iya, sudah," timpalku.
Mentari mulai bangun dari singgasana, sinarnya memecah belah gelapnya alam, nampak dari teras musala terlihat puluhan buah asam tergeletak di tanah tak berdaya menanti kasih sayang dariku.
Akupun bertiga melangkahkan kaki untuk menyelamatkan buah asam dari sekumpulan ayam yang siap menyantapnya. Aku dan Hasan memunguti buah asam, sementara Husen mengambil alat pemotong.
"San...Mad, ayu kita tebang dahan pohon ini," ajak Husen.
"Ok, siap." Jawabku dan Hasan
Aku dan Hasan bergegas menghampiri dan membantu menarik dahan, sementara Husen yang memotongnya. Dahan pun terpisah dari batangnya. Kemudian aku tarik dan membuangnya di pojok kebun. Tiba-tiba Husen kepalanya pusing setelah memotong dahan pohon asam.
"Aduh, kepalaku tiba-tiba pusing. Aku ke dalam dulu," kata Husen sambil jalan menuju rumahnya.
Dari dalam rumah istri Husen keluar sambil berkata.
"Kenapa Bang?" Tanya istrinya.
"Tidak tahu ni, tiba-tiba kepala abang pusing," jawab Husen.
"Sini saya pijit-pijit," ucap istri Husen.
Dipijitlah kepala Husen sampai hilang rasa pusing, tapi tidak berapa lama istri Husen seperti kehilangan kesadaran atau kerasukan makhluk halus. Aku, Hasan, dan Husen sontak dibuat kaget. Tetangga pun berdatangan untuk menolong istri Husen. Orang pintar pun dipanggil untuk mengusir makhluk halus yang bersemayam di tubuh istri Husen.
Hari sudah hampir siang, istri Husen belum sadar juga, karena lelehan dan juga dalam kondisi hamil tua. Akhirnya di bawa ke rumah sakit. Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat dihindarkan, istri Husen meninggal dunia.
Kabar duka ini meluluh lantahkan hati Husen, ia kehilangan dua orang yang dikasihinya istri dan calon anak yang sedang dikandung. Aku tak habis pikir musibah begitu cepatnya, gara-gara menebang dahan pohon asam dua insan pulang kerahtullah. Ternyata menurut orang pintar dahan pohon asam itu tempat bermainnya penunggu pohon asam. Karena merasa diusik, maka penunggu itu marah.
Karena meninggal secara tragis dan ditambah sedang hamil tua, ada sedikit seram dan menakutkan pada saat itu. Terutama setelah mentari memasuki peraduan.
Akhirnya setiap hari mulai gelap penduduk kampung agak sedikit takut keluar, katanya makhluk halus berujud istri Husen sering menampakkan diri, bahkan suka berada di Musala. Hingga banyak yang takut berlama-lama di dalam musala selepas salat Isya. Tukang singkong goreng pun sempat melihat penampakan hantu berwujud istri Husen, bahkan ada yang melihat sedang menggendong bayi.
Hari-hari penuh ketakutan, ditambah dengan detak suara jam dinding yang tak pernah berhenti. Alam sekitar yang masih banyak rimbunan pohon dan listrik pun belum masuk menambah suasana malam semakin mencekam.
Aku tak berani keluar rumah di waktu selepas salat Isya. Andaikan terpaksa pulang agak malam, mulutku tak henti-hentinya komat Kamit melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an di sepanjang jalan yang kulalui sambil sedikit-dikit mataku melirik ke kanan dan ke kiri. Andaikan ada suara atau benda yang jatuh mungkin jantungku langsung copot. Karena saking takutnya.
Setelah beberapa tahun pohon asam yang cukup besar dan tumbuh tidak jauh dari musala ditebang oleh ayahku. Tidak sembarang orang bisa menebang pohon asam yang penuh dengan penunggu makhluk halusnya. Ayahku tidak serta merta menebang begitu saja, ayahku harus minta izin dan berkomunikasi dahulu dengan penunggu pohon asem. Setelah terjadi kesepakatan dan penunggunya pindah, barulah pohon asam itu ditebang.
Padahal sebelum ditebang aku dan teman-teman sering berteduh di bawah pohon asem yang cukup besar itu sambil main congklak. Kalau musim angin banyak berjatuhan buah asam sehingga banyak orang yang berlari ke pohon asam untuk menuruti buah asam.
Kini hanya tinggal kenangan, meninggalkan sejuta suka dan duka....
Salam literasi
Cakung, 16 Juni 2022
Horooor
BalasHapusHahaha.... hahaha
HapusGambar nya serem
BalasHapus