Kembalilah
Kembalilah
**********************.......................................
"Oh, seperti itu pola pikirnya. Sempit sekali. Pantas dia tidak pernah mengajak para jamaah yang mempuni untuk ikut terjun dalam kegiatan idul Fitri dan idul Adha. Hanya mengajak saudaranya saja walau tak mumpuni."
,...........................................********************
Sejak ustadzku meninggal, imam Musala digantikan oleh orang yang sebatas bisa baca Al-Qur'an dan doa. Ya, ustaz kecil-kecilan. Maklum kalau di kampung, jika bisa baca Al-Qur'an dan mimpin tahlil sudah disebut ustaz. Ya, ustaz sebatas bisa baca tahlil dan doa.
Musala tidak ada perubahan, padahal banyak anak-anak muda yang potensial untuk mengembangkan Musala. Tapi karena Musala di kuasai oleh ahli waris yang pola pikirnya terlalu sempit, sulit rasanya untuk berkembang.
Takut tersaingi dan bahkan takut yang lain maju membuat Musala fakum dari kegiatan kepemudaan dan pengkaderan. Tidak ada yang boleh mengadakan kegiatan, kecuali dari golongan ahli waris. Bahkan selain keturunannya tidak boleh untuk menjadi imam.
Suatu hari para jamaah berinisiatif mengadakan acara malam nispu Sya'ban. Kelompok mereka menentang padahal setiap tahun kaum ibu-ibu dari keturunan mereka mengadakan. Aku mencoba tahun ini yang mengadakan jamaah lelaki dan kaum ibu tinggal ikutan.
Dari pihak ahli waris menentang, karena dari tahun-ketahun jamaah Musala melakukan nispu Sya'ban di masjid. Memang dahulu ketika ustaz masih hidup selalu melakukanya di masjid, karena ustaz sendiri yang memimpinnya itupun diadakan agar masjid ramai dikunjungi kaum muslimin.
Namun, seiring bergantinya waktu dan berubahnya musim, seiring itu pula kondisi berubah. Ustaz sudah tiada sementara Musala generasi tuanya pun sudah tiada.
Di Masjid sudah ada yang mampu untuk memimpin dari keturunan yang membangun masjid. Sementara para jamaah enggan ke masjid, kecuali hanya mereka yang bertugas di masjid. Sementara kaum ibu tidak ada yang memimpin karena ustazahnya telah meninggal.
Pada akhirnya aku yang memimpin mengadakan malam nispu Sya'ban di Musala itupun kulakukan bukan semata kemauanku semata, tetapi permintaan dari jamaah. Akhirnya acara berjalan sementara para pimpinan Musala/ ahli waris ikutan juga dan tidak ke Musala.
Lucunya, agar mereka tidak disemprot oleh pengurus masjid. Mereka melaporkan bahwa yang mengadakan adalah aku dan mereka hanya ikutan saja. Ya, begitulah kondisi yang terjadi. Mereka takut tersaingi, sementara mereka tidak mau mengkader para pemuda yang dipandang mumpuni.
Mereka takut lahannya direbut oleh orang lain sekalipun oleh ahli waris yang lain yang agak jauh dari garis keturunan.
Mereka mengadakan acara keagamaan hanya turut-turut mereka. Padahal banyak jamaah yang layak dan keilmuannya lebih jauh dari mereka. Yang lucunya ketua Musala orang berpendidikan tinggi. Tapi pola pikirnya sempit. Tentunya pola pikirnya di latar belakangi dengan dunia yang digeluti.
Biasanya cara berpikir politikus berbeda dengan cara berpikir seorang guru. Kalau seorang guru bagaimana caranya agar murid-muridnya berkembang dengan baik tanpa melihat keturunan dan golongan. Berbeda dengan seorang politikus, mereka hanya memikirkan bagaimana golongannya saja yang berhak tampil ke depan, sementara orang lain tidak dipedulikan bahkan jika perlu dihambat.
Dari kejadian yang aku dan jamaah lakukan. Ketua Musala yang merasa sebagai ahli waris berkata kepadaku.
"Nanti bisa kegiatan Idul Fitri dan Adha diambil atau direbut."
"Astaghfirullah."
Aku sedikit terperanjat mendengar orang yang katanya berpendidikan dan berlimu agama berkata seperti itu.
"Oh, seperti itu pola pikirnya. Sempit sekali. Pantas dia tidak pernah mengajak para jamaah yang mempuni untuk ikut terjun dalam kegiatan idul Fitri dan idul Adha. Hanya mengajak saudaranya saja walau tak mumpuni."
Karena pola pikir yang sempit berakibat pada berantakannya salat berjamaah di Musala. Banyak jamaah yang kabur dari Musala gegara kebijakannya.
Lucu memang, mengangkat seorang iman yang jarang berjamaah di Musala. Bahkan, yang tidak dikenal oleh jamaah. Karena keturunannya diangkatlah menjadi imam rawatib.
Tentunya pasti ada ketidak beresan. Benar saja mereka jarang ke Musala sehingga banyak jamaah yang bingung karena imamnya tidak ada, sementara yang lain tidak boleh. Tunggu-menunggu imam yang tidak jelas datangnya banyak yang sedikit kecewa dan menggerutu. Musala yang lain sudah melaksanakan salat berjamaah, sementara di musalaku masih menantikan seorang imam dari ahli warisnya.
Dahulu aku yang memimpin, karena keterbatasan aku mengundurkan diri. Kebetulan aku masih keturunan jauh. Itupun karena imam yang sudah tidak mampu lagi mempersilahkan aku, sementara tidak ada ahli waris mereka yang sering ikut salat berjamaah.
Pada suatu hari aku bertemu kepada para jamaah yang kabur dari Musala. Aku mengajaknya untuk kembali ke Musala.
"Sini kalian! Ayo, kembali ke Musala," ajakku.
"Tidak pak." Jawabnya.
"Loh, kenapa?"
"Saya sedikit kecewa."
"Kecewa apa?"
"Ketua Musala otoriter."
"Otoriter-nya di mana?"
"Ya, itu imamnya sudah ditentukan, seolah-olah orang lain tidak boleh."
"Kamu ingin menjadi imam?"
"Tidak."
"Terus kenapa kamu pada kabur."
"Ya, tidak senang saja."
"Sudahlah kembali ke Musala. Ibadah di mana saja sama saja. Ibadah itu mencari ridho Allah, bukan karena iman. Imam itu orang pilihan. Ayo, kembali makmurkan Musala dengan zikir-zikirmu dan tolong anak-anak tidak ada yang mengurus. Butuh orang untuk membimbing mereka. Sekarang tidak ada yang peduli dengan mereka. Akhirnya mereka jadi pengganggu kekhusuun ibadah salat berjamaah."
"Ya, sudah pak nanti saya bilang kepada yang lainnya."
Aku akan melihat mereka pada kembali lagi atau tidak. Jika tidak, aku akan bujuk lagi sampai mereka kembali ke Musala.
Komentar
Posting Komentar