Gegara Contekkan
Gegara Contekkan.
*********************************************
"Saya ini saudaranya, dan saya lebih tahu dari bapak. Tidak mungkin dia berkata begitu. Jika tidak ada api, takkan ada asap."
*********************************************
Pagi itu Aku sedang melaksanakan salat Duha. Tetiba seorang tenaga kependidikan memanggil.
"Pak, dipanggil kepala sekolah." Panggil tenaga kependidikan dari luar masjid.
"Iya, Bu. Tanggung dua rakaat lagi." Jawabku.
Selesai salat aku bergegas mengkadap kepala sekolah di kantor. Setelah sampai aku lihat beberapa guru sudah ada di sana. Aku duduk lalu kepala sekolah membuka percakapan.
"Pak, di dalam Al-Qur'an tidak ada keterangan tentang haramnya Anjing. Terus kenapa Anjing di haramkan dari mana dasarnya?" Tanya kepala sekolah.
Aku terperanjat, kenapa kepala sekolah memanggil aku hanya sekedar bertanya hukum haramnya anjing, padahal ilmu beliau lebih luas karena baground dari pondok. Aku jawab sebatas pengetahuanku. Tapi aku bertanya balik, melihat gelagak kepala sekolah seperti orang tidak bersahabat.
"Apa maksud bapak menanyakan seperti ini? Langsung saja pada permasalahan," tegasku agak emosi. Sementara teman-temanku terdiam seribu bahasa.
Kepala sekolah akhirnya menjelaskan duduk permasalahan yang sebenarnya.
"Sudah lupakan yang tadi. Begini, saya ini pimpinan. Secara pribadi saya tidak setuju siswa diberikan contekan, tetapi secara kelembagaan saya harus lakukan agar para siswa lulus semua."
"Oh...! ada teman yang melaporkan Aku dan beberapa teman yang tidak memberikan contekan kepada para siswa ketika ujian." Ucapku dalam hati.
Aku sudah tahu siapa yang melaporkan semua ini, karena temanku yang mengawas di ruang bersamaku ditelepon malam sebelumnya. Lalu dia menghubungiku. Sementara beliau tidak berani menghubungiku.
Semua ini bermula dari hasil ujian. Di mana hampir 75% siswa dinyatakan tidak lulus dan harus mengulang. Ini terjadi dihampir semua sekolah baik negeri maupun swasta.
Yang lucunya ujian ulang di awasi oleh guru yang mengajar di sekolah tersebut. Lucu saja pemerintah dalam hal ini yang berwenang dalam pendidikan. Pendidikan seperti permainan saja. Apa yang terjadi proses kecurangan tidak bisa dihindarkan. Guru yang seharusnya mengajarkan tentang kejujuran pada saat itu seperti hilang keguruannya. Hanya bermodal kasihan pada peserta didik jika tidak dikasih contekan tidak akan lulus.
Bak kerbau yang ditusuk hidungnya, guru mengikuti keinginan kepala sekolah, hanya beberapa guru yang masih idialis yang keberatan untuk melakukannya. Tapi mereka justru di panggil kepala sekolah.
Ya, memang kacau pendidikan pada saat itu. Yang jujur tertindas sementara yang tidak jujur nyaman. Apa yang terjadi? Peserta yang lulus dengan jujur dan sudah dinyatakan mendapatkan sekolah-sekolah negeri. Mereka hanya bisa menghisap jempol dan tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tergeser bahkan tidak mendapatkan sekolah-sekolah negeri, karena terkalahkan oleh nilai-nilai para siswa yang ikut ujian ulang dengan cara curang alias tidak jujur.
Aku sedikit naik pitam dengan kepala sekolah. Dan juga kepada teman yang suka melapor karena hanya ingin langgeng jabatannya. Yang pada akhirnya merugikan orang lain.
Pada tahun pelajaran berikutnya aku diboikot oleh kepala sekolah. Akup tidak diberikan jabatan bahkan wali kelas saja harus dicopot. Belum lagi ada undangan pelatihan kepala tidak mengirim aku padahal itu pelatihan untuk mata pelajaran yang aku ampu.
Aku takkan gentar apa yang dilakukan kepala terhadapku. Aku tetap mengajar seperti biasa. Tidak sedikitpun berkurang semangat kerjaku. Dalam sejarah mungkin beliau pimpinan yang terburuk sepanjang aku ngabdi di sekolah itu.
Sejak itu aku selalu mengkritisi setiap kebijakan yang lontarkan. Bahkan aku memboikotnya. Berkaitan dengan uang masjid yang digunakan buat anggaran sekolah. Sementara kuitansinya dipakai untuk laporan pembiayaan sekolah.
Para pengurus masjid sekolah dan para wakil dikumpulkan. Beliau berbicara dengan berbagai argumentasi yang dibuat untuk melegalkan apa yang dilakukan. Sementara aku mencegahnya.
"Ini adalah pembohongan publik, sekolah ada anggarannya. Kenapa harus memakai uang masjid yang jelas-jelas orang tua dan para siswa beramal untuk kepentingan masjid. Ingat masjid tidak ada anggaran, sementara sekolah jelas ada anggarannya."
Akhirnya buku bank yang dipegang oleh bendahara aku pegang. Sementara pembangunan masjid dihentikan sampai beliau keluar atau pindah dari sekolah.
Setelah kepala sekolah pindah baru pembangunan dilanjutkan.
Pernah suatu hari kepala sekolah membicarakan aku di sekolah lain kepada para pimpinan dan wakilnya. Dia tidak tahu yang diajak bicara itu masih teman dan saudara dari bibiku. Temanku langsung sekak mati.
"Saya ini saudaranya, dan saya lebih tahu dari bapak. Tidak mungkin dia berkata begitu. Jika tidak ada api, takkan ada asap."
Kepala langsung diam seribu Bahasa. Maksud hati ingin menjelekkan, malah disemprot teman dari saudara bibiku.
Komentar
Posting Komentar